Biografi Singkat
Kyai Faqih lahir pada tanggal 2 Mei 1932
di Dusun Mandungan Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak
belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi’i Zahid, di Pesantren
Langitan. Ketika besar ia sempat nyantri pada Mbah Abdur Rochim di
Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Kyai Faqih pernah mondok di Makkah. Di sana ibeliau nyantri kepada
Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya Sayyid Muhammad bin Alwi
Al-Maliki. Setiap kali tokoh yang amat dihormati kalangan kiai di NU itu
berkunjung ke Indonesia, selalu mampir ke Pesantren Langitan.
Keberadaan kyai Faqih tidak bisa lepas dari keberadaan pesantren
Langitan di Tuban, Jawa Timur. Melalui pesantren tua di Jawa Timur yang
didirikan tahun 1852 oleh KH Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang,
Langitan itulah kyai Faqih mengabdikan dirinya di jalan dakwah.
Pesantren Langitan merupakan pesantren tempat pendiri NU Hadhrotussyaikh
KH Hasyim Asy’ari dan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan pernah
nyantri.
Kiai Faqih merupakan generasi kelima yang memimpin Pesantren Langitan
sejak 1971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia
karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang
juga pamannya.
Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana,
istiqomah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi
teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu
memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan.
Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah
Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat
Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak
(TK) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Dalam hal penggalian dana, ia
membentuk Badan Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan
wartel.
Kesederhanaan kyai Faqih sangat nampak dari tempat tinggalnya. Kyai
Faqih tinggal di sebuah rumah kecil terbuat dari kayu berwarna janur
kuning, sederet dengan asrama santri dan rumah pengasuh lain.
Kyai Faqih tetap tinggal di rumah kayu itu meskipun ada bangunan
berlantai dua di belakang rumah itu. Gedung berlantai dua itu untuk
tinggal putri-putrinya. Kyai sendiri tetap memilih tinggal di rumah kayu
berukuran sekitar 7×3 meter.
Lebih dari itu lagi, ayah 12 orang anak buah perkawinannya dengan Hj
Hunainah ini juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan
masyarakat. Di antaranya ia mengirim da’i ke daerah-daerah sulit di Jawa
Timur dan luar Jawa. Setiap Jum’at ia juga menginstruksikan para
santrinya shalat Jum’at di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum
di pesantren yang diikuti masyarakat luas.
Di kalangan NU kyai Faqih dikenal sebagai kiai khos atau kiai utama,
meskipun kyai Faqih sendiri menolak disebut sebagai kyai khos atau kyai
utama. Kyai Faqih dianggap mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama
yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu
mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh
dari keinginan-keinginan duniawi. Kiai Faqih kerap jadi rujukan utama di
kalangan Nahdliyin, terutama menyangkut kepentingan publik.
Lihat tulisan sanggahan beliau buat membantah Gus Dur http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,85…
Menurut kiyai faqih penyebutan kiai khas yang diidentikkan dengan
kiai yang dekat dan mendukung Gus Dur saat itu sangat dimungkinkan sarat
dengan kepentingan dalam rangka menjustifikasi langkah-langkahnya yang
kontroversi, terutama hal-hal berkaitan dengan ajaran dan nilai-nilai
ahlusunah waljamaah, seperti sikapnya terhadap pencabutan TAP MPR
tentang paham komunisme, penolakannya terhadap RUU APP, dukungannya
terhadap aliran Ahmadiyah, liberalisme, sekularisme dan pluralisme.
Terbukti, saat ini begitu mudahnya para kiai itu ditinggalkan Gus Dur
setelah mereka bersikap kritis terhadap langkah-langkahnya. Beruntung,
para kiai sudah berani mengambil sikap tegas dengan mufaroqoh dari
barisan Gus Dur.
Bahkan, Gus Dur mengatakan, banyak kiai sepuh yang berkenalan dengan
uang, kekuasaan, dan jabatan (Jawa Pos, 15/2/2007). Sebenarnya, sebagai
pewaris para nabi (waratsatul anbiya), keterlibatan kiai dalam dunia
politik merupakan sebuah keharusan.
Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, selain
dipahami sebagai peristiwa keagamaan, juga merupakan peristiwa politik
dalam rangka membangun masyarakat dan pemerintah kota Madinah yang
damai, tenteram, tenang, adil, dan makmur. Peran Nabi Muhammad SAW waktu
itu, selain sebagai seorang Nabi, beliau menjadi seorang kepala negara.
Selain menjalankan tugas mengajar (talim) para sahabat, sewaktu-waktu
beliau terjun ke medan laga untuk memimpin pasukan Islam dalam menumpas
musuh-musuhnya. Peran kiai hendaknya juga demikian. Selain menjalankan
tugas mengajar (talim) santri-santrinya, suatu saat para kiai harus ikut
membantu urusan negara (politik) sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Jika para kiai hanya mengurusi pesantrennya dan tidak tahu-menahu
soal urusan negara (politik), pada akhirnya pemerintah dikuasai
orang-orang yang anti-Islam, antipesantren, dan anti-ajaran ahlusunah
waljamaah.
Siapa yang harus menanggung akibatnya? Jadi, sebenarnya keterlibatan
kiai dalam politik itu bertujuan menyelamatkan peran kiai itu sendiri.
Kyai NU Anti Rokok
Di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur, rokok sama sekali
dilarang. Pelarangan rokok di pesantren NU ini juga berkat dorongan dari
Kyai Faqih yang menjadi pengasuhnya. Larangan merokok di pesantren
Langitan bahkan sudah berlangsung sejak tahun 1990an, jauh-jauh hari
sebelum adanya kontroversi keharaman rokok di Indonesia.
Melalui Kyai Faqih inilah ‘perang’ melawan rokok diserukan kyai Faqih
sampai pengaruhnya tidak hanya terjadi di sekitar pesantren, tapi juga
lingkungan sekitar pondok pun ikut-ikutan untuk tidak mengkonsumsi
rokok.
Sebagai penguat bukti itu, di situs Langitan.Net, bahkan dipublikasikan secara khusus tentang bahaya-bahaya rokok.
Kyai Anti Syiah
Dalam sebuah kesempatan, Kyai Faqih pernah menyebutkan, bahwa
perbedaan yang ushul (pokok, red) antara NU dan Muhammadiyah itu tidak
ada. Lana ra’yukum wa ma naraa. Artinya, untuk kamu terserah, tapi
kepercayaan kami ya ini. Tapi beliau tidak mau main-main dengan
persoalan yang pokok. Beliau tidak bisa kompromi dengan segolongan kaum
yang biasa menghujat Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Siti Aisyah.
Adapun mengenai Wahabi. tentu saja semua ulama NU anti wahabi dengan
catatan bukan yang berkaitan dengan masalah furu’iyyah yang masih bisa
ditoleransi.
Kyai Anti JIL
Kyai Faqih juga merupakan kyai yang sangat menolak liberalisme dan
pluralisme agama. Beliau bersama Almaghfurlah KH. Idris Marzuki
(Pesantren Lirboyo Kediri), KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafii (Perguruan
dan Pesantren Islam As-Syafiiyah Jakarta), dan Almaghfurlah KH. Yusuf
Hasyim (Pengasuh PP Tebu Ireng Jombang dan Paman Gus Dur) pernah
menorehkan tanda tangan pada 16 Agustus 2005, yang berisi pernyataan
bersama dan membuat keputusan penting yakni:
(1) Membenarkan dan menguatkan fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor
7/Munas VII/MUI/11/205 tentang haramnya mengikuti paham pluralisme,
sekulerisme, dan liberalisme agama, dan fatwa MUI nomor 11/Munas
VII/MUI/15/2005 tentang Jamaah Ahmadiyah sebagai aliran di luar Islam
serta sesat menyesatkan;
(2) Mengharap kepada ormas Islam bersih dari person-person yang berpaham liberalis, sekularis, dan pluralis agama
(3) Segenap umat Islam berkewajiban waspada terhadap pola pikir
keagamaan berdasar liberal, sekuler, dan plural yang berpotensi besar
melemahkan dan merusak keimanan.
Kyai Faqih Pelopor Mufaroqoh Terhadap Gus Dur
Kyai Faqih pada awal mulanya tergolong kyai yang sejalan dengan Gus
Dur. Namun setelah Gus Dur banyak melakukan penyimpangan dalam banyak
hal dan sangat liberal , KH. Abdullah Faqih kemudian memilih mufaroqoh
(memisahkan diri) dari barisan Gus Dur. Sikap kyai Faqih itu kemudian
diikuti oleh banyak kyai-kyai terkemuka di kalangan NU, yang membuat Gus
Dur pada saat itu marah-marah dan menyebut mereka sebagai kyai kampung.
Istilah kyai khos pada awalnya dipopulerkan oleh Gus Dur sendiri
sebenarnya, sebagaimana dikatakan oleh Kyai Faqih dalam sebuah
tulisannya di Jawa Pos medi0 2007.
“Dulu, kiai-kiai yang sejalan dengan pemikiran dan langkah politik
Gus Dur sering disebut-sebut dan dipopulerkan sebagai kiai khas. Meski
tidak diketahui persis siapa yang memulai dan memunculkan istilah itu,
sebenarnya risi juga mendengar dan menyandang sebutan itu. Sebab, para
kiai yang disebut khas tersebut tidak merasa ada yang perlu
dilebih-lebihkan menyangkut status atau strata sosial. Meski,
keberadaannya mampu dimanfaatkan sebagai justifikasi dan legitimasi
kelompok dan kepentingan tertentu,” tulis KH. Abdullah Faqih, dalam Jawa
Pos, tanggal 2 April 2007.
“Belakangan setelah para kiai itu mengambil sikap dan langkah kritis,
dimunculkan istilah kiai kampung. Gus Dur membagi kiai dalam dua
kelompok, kiai sepuh dan kiai kampung,” tulis KH. Abdullah Faqih.
Pada tulisannya, KH. Abdullah Faqih pada saat itu juga mencermati
politik Gus Dur yang hanya memanfaatkan para kyai untuk kepentingannya
saja. Penyebutan kyai khos, menurut KH. Abdullah Faqih, diidentikkan
dengan kyai yang dekat dan mendukung Gus Dur dalam rangka menjustifikasi
langkah-langkahnya yang kontroversi, terutama hal-hal berkaitan dengan
ajaran dan nilai-nilai ahlusunah waljamaah, seperti sikapnya terhadap
pencabutan TAP MPR tentang paham komunisme, penolakannya terhadap RUU
APP, dukungannya terhadap aliran Ahmadiyah, liberalisme, sekularisme dan
pluralisme.
Dikarenakan hal-hal itulah, KH. Abdullah Faqih dan para kyai
terkemuka di kalangan NU kemudian meninggalkan Gus Dur. “Alhamdulillah,
para kyai sudah berani mengambil sikap tegas dengan mufaroqoh dari
barisan Gus Dur,” tulisnya.
Kyai Faqih & Negara
Pada masa orde baru, Kiai Faqih sangat hati-hati dalam berhubungan.
Meski tetap menjaga hubungan baik, ia tidak mau terlalu dekat dengan
penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk
kepentingan pesantrennya. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat
atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya’.
“Negara menjadi seperti ini (rusak_red) karena bangsa Indonesia
membangun negeri ini telah melanggar,” ujarnya pada suatu kali
kesempatan seraya mengutip sabda Rasulullah SAW: ”Barangsiapa yang
berusaha sesuatu, membangun negara dengan menggunakan maksiat, ini akan
lebih jauh dari apa yang diharapkan dengan lebih dekat dengan apa yang
ditakuti dan dikhawatirkan.”
Pada suatu waktu ia menyebutkan, “Ketika kita membangun negeri ini
maka kita mengharapkan terciptanya keadilan dan kemakmuran. Tapi karena
membangunnya dengan menggunakan maksiat, salah satunya riba (bunga bank,
red) hutang-hutang ke luar negeri yang sekian banyak, bunganya dan
kalau sudah dapat ternyata tidak digunakan seluruhnya kepentingan
bangsa, itu kan namanya maksiat. Maka akhirnya yang menanggung rakyat.
Sedang yang kita takuti itu adalah kemiskinan dan kebodohan.” katanya
medio 2003.
“Maka, kembali ke jalan iman dan takwa adalah menjadi keharusan jika
kita ingin meraih kemenangan. Sesuai firman Allah,” kata Kyai Faqih,
“jika seluruh bangsa ini beriman dan bertakwa akan tercipta rasa
keamanan dan ketentraman,” pesan Kyai Faqih dalam sebuah kesempatan.
Kyai Faqih Dan Penegakan Syariat Islam
KH Faqih merupakan pelopor terhadap perjuangan penegakan Syariah di
Nusantara. beliau bersama para ulama habaib, kiai, dan tokoh Islam
pernah mempelopori rumusan tentang Negara Syari’ah atau konsep Khilafah
Islamiyah.
Namun bedanya, Ahlussunnah lebih mengedepankan etika dakwah bilhikmah
dan mauidzah hasanah. Dengan menata sistem keorganisasian dan gerakan
yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan. Sekiranya
apabila gerakan ini kelak kian berkembang, tidak akan berbenturan dengan
sistem negara. Sehingga Islam tidak dipaksakan untuk vis a vis (wajhan
bi wajhin) dengan negara. Sebab apabila benturan itu terjadi, maka
kemudharratan yang lebih besar akan menimpa umat Islam.
Berawal dari sebuah Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim Ulama yang
digelar pada tanggal 22 desember 2005 di gedung Gradhika kota Pasuruan
Jawa Timur pernah berhasil dibentuk Dewan Imamah Nusantara (DIN). KH
Abdullah faqih sendir adalah anggota perumus kala itu bersama Almarhum
KH. Yusuf Hasyim (Jombang), Almarhum KH. Abdul Hamid Baidhowi (Lasem),
Almarhum KH. Tijani Jauhari (Sumenep), KH. Nuruddin Marbu (Kalsel), KH.
Najih Maimun Zubair (Sarang), KH. Syukron Makmun (Jakarta), Almarhum KH.
Husein Umar (Jakarta), Hb. Tohir Abdullah Al Kaff (Tegal), Hb. M Rizieq
Syihab (Jakarta), Baba Abdul Aziz (Thailand), dan Ust. Abdul Halim
Abbas (Malaysia). Sementara sebagai pelaksana harian beranggotakan
sepuluh orang sebagai berikut, Hb. Abdurrahman Assegaf (Pasuruan), KH.
Ali Karrar Shonhaji (Pamekasan), Almarhum KH. Saiful Hukama’
(Pamekasan), KH. A Yahya Hamiddin (Sampang), KH. Misbah Sadat
(Surabaya), KH. Luthfi Bashori Alwi (Malang), KH. Mahfudz Syaubari
(Pacet), KH. Hidayatullah Muhammad (Pasuruan), KH. Luqman Hakim
(Pasuruan), dan Hb. Ahmad Al Hamid (Malang).
Namun jika ada yang mengatasnamakan Ahlusunnah wal Jamaah akan tetapi
penerapan syari’atnya melenceng dari kaidah-kaidah Ahlusunnah wal
Jamaah dan cenderung mengkafirkan, membid’ahkan, dan mengatakan sesat
amalan-amalan Islami yang selama ini telah membumi di masyarakat,
walaupun mereka mengatasnamakan Ahlusunnah, mengatasnamakan salaf,
mengatasnamakan santri dan kyai maupun habaib, Dewan Imamah kala itu
mengaku siap untuk menangkisnya. Pengertian tersebut tercantum dalam
Program Nasional DIN, yaitu menjaga kemurnian serta memelihara
ke-istiqamah-an akidah Ahlusunnah wal Jamaah. wallahu Alam.
Sumber : nugarislurus.com
0 komentar:
Posting Komentar