Minggu, 03 April 2016

ALMAGHFURLAH KH. ABDULLAH FAQIH LANGITAN: KIYAI ANTI ROKOK DAN PELOPOR JALAN MUFAROQOH/MEMISAHKAN DIRI DARI MENDIANG GUS DUR

Biografi Singkat
Kyai Faqih lahir pada tanggal 2 Mei 1932 di Dusun Mandungan Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi’i Zahid, di Pesantren Langitan. Ketika besar ia sempat nyantri pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Kyai Faqih pernah mondok di Makkah. Di sana ibeliau nyantri kepada Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Setiap kali tokoh yang amat dihormati kalangan kiai di NU itu berkunjung ke Indonesia, selalu mampir ke Pesantren Langitan.
Keberadaan kyai Faqih tidak bisa lepas dari keberadaan pesantren Langitan di Tuban, Jawa Timur. Melalui pesantren tua di Jawa Timur yang didirikan tahun 1852 oleh KH Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang, Langitan itulah kyai Faqih mengabdikan dirinya di jalan dakwah. Pesantren Langitan merupakan pesantren tempat pendiri NU Hadhrotussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan pernah nyantri.
Kiai Faqih merupakan generasi kelima yang memimpin Pesantren Langitan sejak 1971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.
Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqomah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan.
Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Dalam hal penggalian dana, ia membentuk Badan Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.
Kesederhanaan kyai Faqih sangat nampak dari tempat tinggalnya. Kyai Faqih tinggal di sebuah rumah kecil terbuat dari kayu berwarna janur kuning, sederet dengan asrama santri dan rumah pengasuh lain.
Kyai Faqih tetap tinggal di rumah kayu itu meskipun ada bangunan berlantai dua di belakang rumah itu. Gedung berlantai dua itu untuk tinggal putri-putrinya. Kyai sendiri tetap memilih tinggal di rumah kayu berukuran sekitar 7×3 meter.
Lebih dari itu lagi, ayah 12 orang anak buah perkawinannya dengan Hj Hunainah ini juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan masyarakat. Di antaranya ia mengirim da’i ke daerah-daerah sulit di Jawa Timur dan luar Jawa. Setiap Jum’at ia juga menginstruksikan para santrinya shalat Jum’at di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren yang diikuti masyarakat luas.
Di kalangan NU kyai Faqih dikenal sebagai kiai khos atau kiai utama, meskipun kyai Faqih sendiri menolak disebut sebagai kyai khos atau kyai utama. Kyai Faqih dianggap mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Kiai Faqih kerap jadi rujukan utama di kalangan Nahdliyin, terutama menyangkut kepentingan publik.
Lihat tulisan sanggahan beliau buat membantah Gus Dur http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,85…
Menurut kiyai faqih penyebutan kiai khas yang diidentikkan dengan kiai yang dekat dan mendukung Gus Dur saat itu sangat dimungkinkan sarat dengan kepentingan dalam rangka menjustifikasi langkah-langkahnya yang kontroversi, terutama hal-hal berkaitan dengan ajaran dan nilai-nilai ahlusunah waljamaah, seperti sikapnya terhadap pencabutan TAP MPR tentang paham komunisme, penolakannya terhadap RUU APP, dukungannya terhadap aliran Ahmadiyah, liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Terbukti, saat ini begitu mudahnya para kiai itu ditinggalkan Gus Dur setelah mereka bersikap kritis terhadap langkah-langkahnya. Beruntung, para kiai sudah berani mengambil sikap tegas dengan mufaroqoh dari barisan Gus Dur.
Bahkan, Gus Dur mengatakan, banyak kiai sepuh yang berkenalan dengan uang, kekuasaan, dan jabatan (Jawa Pos, 15/2/2007). Sebenarnya, sebagai pewaris para nabi (waratsatul anbiya), keterlibatan kiai dalam dunia politik merupakan sebuah keharusan.
Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, selain dipahami sebagai peristiwa keagamaan, juga merupakan peristiwa politik dalam rangka membangun masyarakat dan pemerintah kota Madinah yang damai, tenteram, tenang, adil, dan makmur. Peran Nabi Muhammad SAW waktu itu, selain sebagai seorang Nabi, beliau menjadi seorang kepala negara.
Selain menjalankan tugas mengajar (talim) para sahabat, sewaktu-waktu beliau terjun ke medan laga untuk memimpin pasukan Islam dalam menumpas musuh-musuhnya. Peran kiai hendaknya juga demikian. Selain menjalankan tugas mengajar (talim) santri-santrinya, suatu saat para kiai harus ikut membantu urusan negara (politik) sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Jika para kiai hanya mengurusi pesantrennya dan tidak tahu-menahu soal urusan negara (politik), pada akhirnya pemerintah dikuasai orang-orang yang anti-Islam, antipesantren, dan anti-ajaran ahlusunah waljamaah.
Siapa yang harus menanggung akibatnya? Jadi, sebenarnya keterlibatan kiai dalam politik itu bertujuan menyelamatkan peran kiai itu sendiri.

Kyai NU Anti Rokok
Di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur, rokok sama sekali dilarang. Pelarangan rokok di pesantren NU ini juga berkat dorongan dari Kyai Faqih yang menjadi pengasuhnya. Larangan merokok di pesantren Langitan bahkan sudah berlangsung sejak tahun 1990an, jauh-jauh hari sebelum adanya kontroversi keharaman rokok di Indonesia.
Melalui Kyai Faqih inilah ‘perang’ melawan rokok diserukan kyai Faqih sampai pengaruhnya tidak hanya terjadi di sekitar pesantren, tapi juga lingkungan sekitar pondok pun ikut-ikutan untuk tidak mengkonsumsi rokok.
Sebagai penguat bukti itu, di situs Langitan.Net, bahkan dipublikasikan secara khusus tentang bahaya-bahaya rokok.

Kyai Anti Syiah
Dalam sebuah kesempatan, Kyai Faqih pernah menyebutkan, bahwa perbedaan yang ushul (pokok, red) antara NU dan Muhammadiyah itu tidak ada. Lana ra’yukum wa ma naraa. Artinya, untuk kamu terserah, tapi kepercayaan kami ya ini. Tapi beliau tidak mau main-main dengan persoalan yang pokok. Beliau tidak bisa kompromi dengan segolongan kaum yang biasa menghujat Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Siti Aisyah. Adapun mengenai Wahabi. tentu saja semua ulama NU anti wahabi dengan catatan bukan yang berkaitan dengan masalah furu’iyyah yang masih bisa ditoleransi.

Kyai Anti JIL
Kyai Faqih juga merupakan kyai yang sangat menolak liberalisme dan pluralisme agama. Beliau bersama Almaghfurlah KH. Idris Marzuki (Pesantren Lirboyo Kediri), KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafii (Perguruan dan Pesantren Islam As-Syafiiyah Jakarta), dan Almaghfurlah KH. Yusuf Hasyim (Pengasuh PP Tebu Ireng Jombang dan Paman Gus Dur) pernah menorehkan tanda tangan pada 16 Agustus 2005, yang berisi pernyataan bersama dan membuat keputusan penting yakni:
(1) Membenarkan dan menguatkan fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 7/Munas VII/MUI/11/205 tentang haramnya mengikuti paham pluralisme, sekulerisme, dan liberalisme agama, dan fatwa MUI nomor 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Jamaah Ahmadiyah sebagai aliran di luar Islam serta sesat menyesatkan;
(2) Mengharap kepada ormas Islam bersih dari person-person yang berpaham liberalis, sekularis, dan pluralis agama
(3) Segenap umat Islam berkewajiban waspada terhadap pola pikir keagamaan berdasar liberal, sekuler, dan plural yang berpotensi besar melemahkan dan merusak keimanan.

Kyai Faqih Pelopor Mufaroqoh Terhadap Gus Dur
Kyai Faqih pada awal mulanya tergolong kyai yang sejalan dengan Gus Dur. Namun setelah Gus Dur banyak melakukan penyimpangan dalam banyak hal dan sangat liberal , KH. Abdullah Faqih kemudian memilih mufaroqoh (memisahkan diri) dari barisan Gus Dur. Sikap kyai Faqih itu kemudian diikuti oleh banyak kyai-kyai terkemuka di kalangan NU, yang membuat Gus Dur pada saat itu marah-marah dan menyebut mereka sebagai kyai kampung.
Istilah kyai khos pada awalnya dipopulerkan oleh Gus Dur sendiri sebenarnya, sebagaimana dikatakan oleh Kyai Faqih dalam sebuah tulisannya di Jawa Pos medi0 2007.
“Dulu, kiai-kiai yang sejalan dengan pemikiran dan langkah politik Gus Dur sering disebut-sebut dan dipopulerkan sebagai kiai khas. Meski tidak diketahui persis siapa yang memulai dan memunculkan istilah itu, sebenarnya risi juga mendengar dan menyandang sebutan itu. Sebab, para kiai yang disebut khas tersebut tidak merasa ada yang perlu dilebih-lebihkan menyangkut status atau strata sosial. Meski, keberadaannya mampu dimanfaatkan sebagai justifikasi dan legitimasi kelompok dan kepentingan tertentu,” tulis KH. Abdullah Faqih, dalam Jawa Pos, tanggal 2 April 2007.
“Belakangan setelah para kiai itu mengambil sikap dan langkah kritis, dimunculkan istilah kiai kampung. Gus Dur membagi kiai dalam dua kelompok, kiai sepuh dan kiai kampung,” tulis KH. Abdullah Faqih.
Pada tulisannya, KH. Abdullah Faqih pada saat itu juga mencermati politik Gus Dur yang hanya memanfaatkan para kyai untuk kepentingannya saja. Penyebutan kyai khos, menurut KH. Abdullah Faqih, diidentikkan dengan kyai yang dekat dan mendukung Gus Dur dalam rangka menjustifikasi langkah-langkahnya yang kontroversi, terutama hal-hal berkaitan dengan ajaran dan nilai-nilai ahlusunah waljamaah, seperti sikapnya terhadap pencabutan TAP MPR tentang paham komunisme, penolakannya terhadap RUU APP, dukungannya terhadap aliran Ahmadiyah, liberalisme, sekularisme dan pluralisme.
Dikarenakan hal-hal itulah, KH. Abdullah Faqih dan para kyai terkemuka di kalangan NU kemudian meninggalkan Gus Dur. “Alhamdulillah, para kyai sudah berani mengambil sikap tegas dengan mufaroqoh dari barisan Gus Dur,” tulisnya.

Kyai Faqih & Negara
Pada masa orde baru, Kiai Faqih sangat hati-hati dalam berhubungan. Meski tetap menjaga hubungan baik, ia tidak mau terlalu dekat dengan penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk kepentingan pesantrennya. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya’.
“Negara menjadi seperti ini (rusak_red) karena bangsa Indonesia membangun negeri ini telah melanggar,” ujarnya pada suatu kali kesempatan seraya mengutip sabda Rasulullah SAW: ”Barangsiapa yang berusaha sesuatu, membangun negara dengan menggunakan maksiat, ini akan lebih jauh dari apa yang diharapkan dengan lebih dekat dengan apa yang ditakuti dan dikhawatirkan.”
Pada suatu waktu ia menyebutkan, “Ketika kita membangun negeri ini maka kita mengharapkan terciptanya keadilan dan kemakmuran. Tapi karena membangunnya dengan menggunakan maksiat, salah satunya riba (bunga bank, red) hutang-hutang ke luar negeri yang sekian banyak, bunganya dan kalau sudah dapat ternyata tidak digunakan seluruhnya kepentingan bangsa, itu kan namanya maksiat. Maka akhirnya yang menanggung rakyat. Sedang yang kita takuti itu adalah kemiskinan dan kebodohan.” katanya medio 2003.
“Maka, kembali ke jalan iman dan takwa adalah menjadi keharusan jika kita ingin meraih kemenangan. Sesuai firman Allah,” kata Kyai Faqih, “jika seluruh bangsa ini beriman dan bertakwa akan tercipta rasa keamanan dan ketentraman,” pesan Kyai Faqih dalam sebuah kesempatan.

Kyai Faqih Dan Penegakan Syariat Islam
KH Faqih merupakan pelopor terhadap perjuangan penegakan Syariah di Nusantara. beliau bersama para ulama habaib, kiai, dan tokoh Islam pernah mempelopori rumusan tentang Negara Syari’ah atau konsep Khilafah Islamiyah.
Namun bedanya, Ahlussunnah lebih mengedepankan etika dakwah bilhikmah dan mauidzah hasanah. Dengan menata sistem keorganisasian dan gerakan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan. Sekiranya apabila gerakan ini kelak kian berkembang, tidak akan berbenturan dengan sistem negara. Sehingga Islam tidak dipaksakan untuk vis a vis (wajhan bi wajhin) dengan negara. Sebab apabila benturan itu terjadi, maka kemudharratan yang lebih besar akan menimpa umat Islam.
Berawal dari sebuah Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim Ulama yang digelar pada tanggal 22 desember 2005 di gedung Gradhika kota Pasuruan Jawa Timur pernah berhasil dibentuk Dewan Imamah Nusantara (DIN). KH Abdullah faqih sendir adalah anggota perumus kala itu bersama Almarhum KH. Yusuf Hasyim (Jombang), Almarhum KH. Abdul Hamid Baidhowi (Lasem), Almarhum KH. Tijani Jauhari (Sumenep), KH. Nuruddin Marbu (Kalsel), KH. Najih Maimun Zubair (Sarang), KH. Syukron Makmun (Jakarta), Almarhum KH. Husein Umar (Jakarta), Hb. Tohir Abdullah Al Kaff (Tegal), Hb. M Rizieq Syihab (Jakarta), Baba Abdul Aziz (Thailand), dan Ust. Abdul Halim Abbas (Malaysia). Sementara sebagai pelaksana harian beranggotakan sepuluh orang sebagai berikut, Hb. Abdurrahman Assegaf (Pasuruan), KH. Ali Karrar Shonhaji (Pamekasan), Almarhum KH. Saiful Hukama’ (Pamekasan), KH. A Yahya Hamiddin (Sampang), KH. Misbah Sadat (Surabaya), KH. Luthfi Bashori Alwi (Malang), KH. Mahfudz Syaubari (Pacet), KH. Hidayatullah Muhammad (Pasuruan), KH. Luqman Hakim (Pasuruan), dan Hb. Ahmad Al Hamid (Malang).
Namun jika ada yang mengatasnamakan Ahlusunnah wal Jamaah akan tetapi penerapan syari’atnya melenceng dari kaidah-kaidah Ahlusunnah wal Jamaah dan cenderung mengkafirkan, membid’ahkan, dan mengatakan sesat amalan-amalan Islami yang selama ini telah membumi di masyarakat, walaupun mereka mengatasnamakan Ahlusunnah, mengatasnamakan salaf, mengatasnamakan santri dan kyai maupun habaib, Dewan Imamah kala itu mengaku siap untuk menangkisnya. Pengertian tersebut tercantum dalam Program Nasional DIN, yaitu menjaga kemurnian serta memelihara ke-istiqamah-an akidah Ahlusunnah wal Jamaah. wallahu Alam.
Sumber : nugarislurus.com

0 komentar:

Posting Komentar